Mempertanyakan Spirit Kartini di Era Industrialisasi Jepara
JEPARA- Hari ini 21 April 2022 adalah bertepatan dengan peringatan Hari Kartini. Sebagaimana dalam edaran dari Pemerintah Kabupaten Jepara mengajak untuk memperingati Hari Kartini ke-143 tahun 2022 dengan tema “Semangat Kartini, Semangat Berkarya Membangun Indonesia yang Lebih Baik. Dari sini kemudian memunculkan pertanyaan kritis, apakah nilai peringatannya dapat memasuki ruang spirit dalam jiwa yang kemudian terejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakat?.
Barangkali tulisan ini mencoba untuk memunculkan pandangan kritis yang semoga tidak terhenti sampai disini tetapi lebih kepada berorientasi spirit dalam membangun mental masyarakat Jepara yang beriklim lebih maju. Penulis merasakan selama ini peringatan hari Kartini masih berkutat pada formalisme yaitu masih seputar memakai pakaian kebaya dan memasang spanduk berslogan spirit dan semangat Kartini. Okelah, karena memang baru sebatas seperti itu, paling tidak nilai minimalisnya itu adalah bagian dari sikap idealis. Tetapi jangan terhenti sampai di situ, bertransformasilah…!.
Karena disadari atau tidak bahwa Kartini adalah pahlawan asli dari Jepara yang lahir di Mayong Jepara, masa remajanya di Jepara, dalam pingitan dengan tekanan psikologis dan pola pikir orang terdekatnya yang kerdil, jumud. Semangat dan daya dobrak mindset Kartini tidak sekedar melahirkan konsep emansipasinya bukan sekedar menyuarakan gender atau hak dan kewajiban yang sama proporsional laki-laki dan perempuan. Namun lebih dari itu, sesungguhnya spirit kepahlawanan Kartini atas tapak perjuangannya menjadi kekayaan tersendiri bagi masyarakat Jepara. Jadi peringatan hari Kartini sarat dengan hikmah dan sarat inspirasi yang harus terus digali dan diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa.
Dalam sebuah sumber https://tirto.id/grjJ penulis mengutip surat Kartini yang disampaikan kepada Prof. Anton dan Nyonya, pada tanggal 4 Oktober 1902.”Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Surat Kartini yang disampaikan kepada Prof. Anton dan isinya tersebut sebenarnya berisi “perasaan” berontaknya dengan penuh harapan yang begitu kuat akan hak proporsional perempuan dalam hal pendidikan. Ia mengingatkan, bahwa kewajiban perempuan yang kelak akan menjadi sosok ibu bagi anak-anaknya, juga menjadi pendidik pertama dalam rumah tangganya. Inilah spirit yang seharusnya menjadi daya tawar Kartini sekaligus memiliki nilai kemuliaan yang tinggi bagi perempuan yang esok akan melahirkan generasi (dzurriyah) yang baik.
Namun nilai-nilai dengan sarat kemulian Kartini ini seakan bertolak belakang dengan spiritnya. Semangat Kartini tersebut seharusnya masyarakat Jepara berpikir jauh ke depan, berpikir maju dengan terbangun intellektualitas yang jauh lebih kekinian. Dengan masuknya investasi luar negeri PMA ke Jepara dengan daya tampung tenaga kerja yang lebih didominasi kaum Hawa menjadi kotradiksi dengan semangat Kartini saat itu.
Apalagi dengan melihat fakta di lapangan lebih mengesankan kepada eksploitasi pada tenaganya dan kelembutannya. Data di Pengadilan Agama Kabupaten Jepara dengan dominan perempuan yang menggugat cerai kepada suaminya dengan jumlah lebih dari 2000 penggugat menjadi pertanda adanya kesenjangan antara kaum perempuan dan laki-laki ini. Hal ini mengindikasikan potensi rusaknya 2000 rumah tangga, yang dampak masifnya jelas akan sangat terasa bagi anak-anak yang menjadi korban perpecahan kedua orang tuanya. Maka jelas disini spirit Kartini dalam meningkatkan derajat kaum wanita yang diperjuangkan oleh Kartini perlu untuk terus disuarakan.
Kalinyamatan, April 21th, 2022
Akhmad Faozan.